PADANG, TOP SUMBAR – Buntut permasalahan internal, masyarakat dari Suku Melayu memblokade akses jalan menuju kampus Sekolah Tinggi Keguruan dan Ilmu Pendidikan (STKIP) Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) Sumatera Barat (Sumbar).
Akibat dari insiden tersebut, akses kampus menjadi sedikit terhambat dan menghambat aktifitas perkuliahan. Suku Melayu mengaku menjadi pemilik tanah yang menjadi akses jalan ke kampus tersebut.
“Mereka sebenarnya hanya memakai dengan kerja sama. Tapi mereka tidak sadar diri setelah dilakukannya kerja sama,” kata salah seorang peserta aksi, Kusnimar (55), Selasa (10/9).
Dituding menghambat mahasiswa menuju kampus tersebut, pihaknya membantah. Menurut perempuan paruh baya tersebut, pihaknya hanya melarang bagi pimpinan kampus beraktifitas.
Ia dan sejumlah masyarakat Suku Melayu yang menjadi korban terdampak tersebut mengaku sudah jengah dengan janji-janji yang diberikan oleh pimpinan STKIP Sumbar.
“Anak saya yang ingin menjadi tenaga satuan pengamanan (satpam) dengan syarat yang sudah lengkap tidak juga diterima dengan alasan kuota sudah penuh. Sementara dua hari setelah itu ada dua satpam baru yang baru masuk,” tuturnya.
Namun Kusnimar tak mempermasalahkan penolakan tersebut. Anaknya yang lain ketika ingin melamar menjadi dosen disana juga tidak diterima dengan alasan yang sama.
“Sedangkan itu saja silih berganti ada orang yang masuk jadi dosen. Jadi sudah penuh semuanya, lebih baik dihentikan saja hubungan kemitraan selama ini,” ucapnya.
Ke depan, pihaknya tak lagi mau bekerjasama dengan pihak sekolah tinggi tersebut karena kadung kecewa dengan itikad pihak kampus yang dinilai jelek dan merugikan.
“Yang jelas kami ingin bertemu dengan pimpinan, namun tidak untuk memperpanjang kerjasama,” sebutnya.
Sementara itu, Ketua STKIP PGRI Sumbar, Zusmelia menuding, bahwa aksi demo tersebut merupakan buntut dari permasalahan internal.
“Ini hanya masalah di tingkat yayasan saja, tapi yayasan yang mengklaim sekarang menaungi kami ini dinilai merusak, kami sedang melakukan penerimaan mahasiswa baru, saat ini, ada ribuan mahasiswa baru.
Ia menyebut bahwa pihak yang bertikai tak paham dengan prinsip Good University Governance. “Padahal sudah ada perjanjian dengan pihak Lembaga Layanan Pendidikan Tinggi (LLDIKTI) Wilayah X tidak akan merusak proses belajar mengajar,” tuturnya.
Ia mengklaim masih merupakan ketua STKIP PGRI Sumbar yang sah hingga 2020 mendatang, dan saat ini sedang berada pada level ‘Status Quo’ atau sedang diproses di persidangan.
“Saya masih menjabat hingga tahun 2020. Kalau seperti ini, yang rugi adalah aktifitas jual beli masyarakat, rumah sudah luar biasa bagus, rumah kos sudah penuh. Yang datang subuh tadi saja masih belum mendapatkan rumah kos,” sambungnya.
Ia menuding, aksi ini kemungkinan dipengaruhi oleh pihak yang menaungi jajarannya saat ini.
“Kami tak lagi ingin dipimpin oleh orang yang tak tahu tata kelola kami, saat ini kami masih berada pada status quo, proses tuntutan sedang berjalan di pengadilan, tidak ada dualisme, yang ada itu masing-masing pihak masih menahan diri hingga pengadilan memutuskan. Pihak sana saja yang tak bisa bersabar, padahal sudah berjanji dengan LLDIKTI,” katanya.
Ketika disinggung pihak mana yang ia maksud, ia berkeberatan menyebut nama atau kelompok.
“Kami tak masalah jalan ini diblokade, karena kami masih memiliki jalan alternatif lainnya,” pungkasnya. (*)