PADANG, TOP SUMBAR – Budaya bela diri pencak silat atau dalam bahasa Minangkabau berarti Silek merupakan suatu nilai seni yang sudah terpatri sejak dahulu kala.
Namun, tak banyak arsip dari salah satu pilar kebudayaan tersebut ditemukan. Upaya untuk menjadikannya sebagai warisan dunia oleh UNESCO pun dinilai akan banyak mengalami ganjalan.
Salah satu cara yang dilakukan agar budaya ini tak luntur dari kemajuan adalah dengan adanya Festival Silek Minang atau Silek Art Festival yang telah dilaksanakan sebanyak dua kali. Tahun pertama diimplementasikan pada tahun 2018.
“Pelaksanaan SAF 2019 ini dimulai dari tanggal 19 hingga 31 Juli 2019, dilaksanakan di lima wilayah di Sumatera Barat, yaitu Kota Padang, Kabupaten Agam, Kabupaten Sijunjung, Kota Payakumbuh dan Kota Solok,” kata ketua pelaksana kegiatan, Edwar, Senin (19/8) malam di Taman Budaya, jalan Diponegoro, Kecamatan Padang Barat.
Mengusung tema “Sapakaik Mangko Balega”, sejumlah rangkaian acara mengisi kegiatan tersebut, diantaranya iset ensiklopedi Silek Minangkabau, riset visual (Dokumentasi Silek Minangkabau), seminar dan lokakarya (semiloka) Transformasi Silek dalam karya seni, yaitu mengenang Sumiati Suib seorang fotografer minang, seni rupa, komik silek, pameran arsip dan dokumentasi Silek Minangkabau, gelanggang pertunjukan Silek, pemutaran film slSilek yaitu Surau dan Silek, dan penghargaan kepada para yang dituaka di Silek pada penutupan yang direncakan dilaksanakan di Salingka Maninjau, Kabupaten Agam.
Kepala Dinas Kebudayaan (Kadisbud) Sumatera Barat, Gemala Ranti mengatakan bahwa tujuan penting program ini agar terciptanya ekosistem kebudayaan dengan pemerintah dan instansi pemerintah.
“Program ini merupakan yang terbaru dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) dan sebagai upaya pemajuan kebudayaan. SAF 2 kali ini ingin menonjolkan konsep arsip dan aksi karena tak banyak dokumentasi tentang Silek,” ucap Gemala.
Sementara itu, Sekretaris Direktorat Jenderal (Sesditjen) Kebudayaan Kemendikbud RI, Sri Hartini mengatakan bahwa SAF merupakan sebuah platform Indonesiana.
“Saya kiri ini adalah sebuah ruang untuk memberikan kesempatan kepada masyarakat untuk mengekspresikan nilai budaya dan seni yang dimilikinya, sehingga kebudayaan ini tak eksklusif, melainkan inklusif, terbuka bagi siapa saja,” katanya.
Dengan demikian, sambungnya akan timbul rasa kesadaran dan antusiasme masyarakat terhadap iven kebudayaan yang direncakan di setiap tahunnya tersebut.
“Pelaksanaan SAF tahun ini juga merupakan platform gotong royong, sehingga jangan ketika program ini dibiayai pemerintah, dilaksanakan pemerintah, namun pelaku budaya dan masyarakat tidak dilibatkan, itu yang jangan terjadi,” tuturnya.
Terkait dengan upaya pemerintah untuk menjadikan Silek sebagai warisan dunia oleh UNESCO, Sri menyebut peluang tersebut sangat ada dan besar.
“Namun, tentu ada mekanisme dan aturan main dari mereka (UNESCO, red) yang harus kita patuhi juga secara bersama-sama, seperti hal nya Ombilin, itu juga memakan waktu, ada pertimbangan, dan harus ada bukti yang meyakinkan bahwa Silek bisa dijadikan warisan kekayaan dunia, salah satunya dengan arsip. Dengan demikian, semakin banyak melaksanakan kegiatan seperti ini, maka tujuan untuk mencapai hal tersebut hanya tinggal menunggu masanya,” pungkasnya. (*)