PADANG, TOP SUMBAR – Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Padang mendampingi perwakilan masyarakat yang tinggal di wilayah konsesi lima Izin Usaha Pertambangan (IUP) Non Clean and Clear (Non CnC), melaporkan Gubernur Sumatera Barat ke Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) Perwakilan Sumatera Barat dan Ombudsman Republik Indonesia Perwakilan Sumatera Barat.
Adapun pelaporan tersebut dampak dari pembuaian hukum terkait lima IUP Non CnC yang hingga saat ini belum dicabut oleh Gubernur Sumbar.
“Pada pengaduan kantor Komnas HAM Perwakilan Sumbar dan Ombudsman RI Perwakilan Sumbar, kami menyesalkan tindakan Gubernur Sumatera Barat yang hingga saat ini belum berani mencabut lima IUP non CnC PT Thomas Jaya Trecimplant Abadi yang berada di wilayah Nagari kami,” kata Sutrisno, perwakilan masyarakat dari Batu Manjulur, Kabupaten Sijunjung, Kamis (29/08/2019).
Padahal katanya, wilayah IUP perusahaan tersebut memasuki wilayah atau tumpang tindih dengan pemukiman masyarakat, lahan perkebunan aktif masyarakat, fasilitas umum, air bersih dan masuk dalam kawasan hutan serta rentan dilaporkan oleh pihak perusahaan dengan dalil memasuki areal konsesi perusahaan tanpa izin, sehingga menyulitkan akses perekonomian dan aktivitas hidup masyarakat sehari-hari.
“Sejak tahun 2003 masyarakat Batu Manjulur juga telah melakukan penolakan terhadap munculnya perusahaan tambang Batubara tersebut dan telah mengirimkan surat penolakan ke perusahaan bahkan ke lembaga atau instansi pemerintah terkait, dalam surat itu turut ditandatangani oleh pemerintahan nagari, tokoh masyarakat dan tokoh adat, namun hingga saat ini, sudah 15 tahun sejak adanya penolakan, tidak satu pun surat penolakan masyarakat direspon atau ditanggapi,” ungkapnya.
Pihaknya merasa bahwa PT Thomas Jaya Trecimplant Abadi dalam menjalankan usaha pertambangan pun tidak melakukan dialog atau sosialisasi kepada pihak masyarakat seperti halnya dalam kesepakatan ganti kerugian lahan terdampak, pembagian hasil usaha yang seharusnya disepakati terlebih dahulu, akan tetapi pihak perusahaan hanya berkomunikasi dengan masyarakat tertentu saja,” tuturnya.
Aktivitas pertambangan PT Thomas Jaya Trecimplant Abadi mulai bekerja pada tahun 2007 yang dilakukan sudah pada tahap lapisan pertama atau lapisan penggalian di permukaan lahan (topsoil, red) seluas lebih kurang 10 Hektar, setelah itu mengambil hasil penambangan pada kedalaman 10 meter dan pada tahun 2011 hingga saat ini tidak beraktifitas lagi namun meninggalkan bekas lubang tambang.
Tidak jauh berbeda, Al selaku perwakilan masyarakat dari Solok Selatan juga menilai tindakan Gubernur Sumatera Barat yang masih membiarkan dua IUP non CnC diantaranya PT Triple Eight Energy, dan PT Wira Patriot Sakti yang berada di Nagari Pakan Rabaa Timur, merupakan tindakan yang tidak patuh hukum yang menyebabkan kerugian terhadap perekonomian masyarakat.
“Sebelumnya ratusan masyarakat melakukan aksi protes kepada perusahaan atas ketakutan terhadap kerusakan lingkungan serta pencemaran lingkungan akibat aktivitas pertambangan pihak perusahaan, namun perusahaan merespon aksi tersebut dengan memanggil pihak Kepolisian untuk menyuruh pembubaran aksi tersebut,” ujarnya.
Sehingga sambung Al, ketakutan itu pun terjadi pada tahun 2012 yang mengakibatkan adanya longsor di areal wilayah pertambangan yang merembes ke lahan perladangan dan pertanian masyarakat sehingga menimbulkan kerugian sangat besar dan pihak perusahaan tidak mau mengganti rugi bahkan tidak ada respon sedikitpun terhadap ulahnya tersebut.
“Pada tahun 2013 hingga tahun 2017 pihak perusahaan tidak lagi melakukan aktivitas pertambangan namun masyarakat setempat mulai menambang secara manual di wilayah konsesi perusahaan tersebut dan dikumpulkan di salah satu titik pengumpulan, kemudian untuk penjualan dari titik pengumpulan ke luar Solok Selatan harus mendapatkan surat ijin pengangkutan dari Dinas Perizinan Kabupaten dan dikawal oleh beberapa oknum aparat,” paparnya.
Pada tahun 2018 hingga saat ini, tidak ada aktivitas lagi di wilayah konsesi PT Wirapatriot Sakti, hanya saja lokasi saat ini banyak meninggalkan bekas lubang tambang.
Terkait hal tersebut, Pernando Simbolon selaku Pengacara Publik LBH Padang memandang tindakan Gubernur Sumatera Barat yang masih bertahan untuk tidak menjalankan Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara (Putusan Pengadilan Nomor Perkara: 2/P/FP/2017/PTUN.PDG, red) merupakan pembangkangan hukum dan telah menghina peradilan (Contempt of Court) dalam perbuatan tidak mentaati perintah-perintah pengadilan (Disobeying Court Orders).
“Terkait 5 IUP non CnC yang belum dicabut, Gubernur beralasan telah diperbaharui menjadi CnC sebagaimana pengumuman dari Dirjen Mineral dan Batubara (Minerba) Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM). Kami juga meragukan dokumen Evaluasi Penerbitan IUP Minerba yang dilaksanakan oleh Gubernur sebagaimana diperintahkan dalam Peraturan Menteri ESDM Nomor 43 Tahun 2015 tentang Tata Cara Evaluasi Penerbitan IUP Minerba, yang artinya banyak permasalahan di masyarakat namun 5 IUP tersebut bisa lolos dalam perubahan status CnC, dan ini akan kita tindak lanjuti juga,” kata Pernando.
Disamping itu, Ozi Gumetra Pengacara Publik LBH Padang juga menilai apa yang dilakukan masyarakat terutama dari Nagari Batu Manjulur, dan Nagari Pakan Rabaa Timur yang daerahnya menjadi daerah konsesi dari IUP yang belum dicabut oleh Gubernur tersebut adalah bukti bahwa Putusan Pengadilan TUN sudah benar dan sesuai dengan koridor hukum.
“Terbukti selama ini masyarakat sudah resah akan keberadaan perusahaan didaerah mereka. Gubernur terlalu cepat menilai terkait status CnC 5 IUP tanpa melihat keadaan di lapangan, padahal sudah banyak dilakukan penolakan oleh masyarakat sebelum adanya putusan dan juga perusahaan tersebut saat ini tidak ada beraktivitas lagi,” tambahnya.
Pelaporan masyarakat pada Komnas HAM dan Ombudsman RI Perwakilan Sumbar sudah diterima dan dalam proses perlengkapan administrasi, dan akan segera ditindaklanjuti. (*)