PADANG, TOP SUMBAR – Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Sumatera Barat (SB) menolak isi dari Rancangan Undang-undang (RUU) Penghapusan Kekerasan Seksual (PKS).
Koordinator Umum (Koorum) Aksi, Ismail Zainuddin saat melakukan aksi unjuk rasa di gedung Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Sumatera Barat mengatakan, sejumlah pasal di RUU PKS, dinilai multitafsir.
“Di dalam RUU PKS, terdapat pasal-pasal karet atau multitafsir, seperti pada pasal lima, 12, 15, 18 dan 19. Seperti satu contoh, adanya larangan pemaksaan perkawinan. Ini tentu menjadi polemik di tengah masyarakat. Apabila ada seorang ayah yang memaksakan anaknya kawin, anaknya sendiri yang sudah ia besarkan, ia bisa dipidanakan. Ada lagi pemaksaan aborsi, itu kata-kata diksi, itu yang kita permasalahkan, bukan undang-undangnya secara keseluruhan,” ucapnya usai melakukan aksi demo dan rapat dengar pendapat dengan pimpinan DPRD Sumbar, Selasa (23/07/2019).
Mahasiswa mempermasalahkan pemilihan kata-kata dalam RUU PKS. Menurutnya, akibat dari pasal-pasal karet tersebut, menimbulkan perpecahan di tengah masyarakat.
“Ada yang menganggap LGBT ilegal, zina ilegal. Kita ingin menuntut pemerintah, dalam hal ini wakil rakyat, adanya kejelasan pasal karet tersebut, dan kita tidak menginginkan hal itu. Harus sesuai dengan norma dan adat kita, solusinya pasal tersebut diubah, kapan perlu dihapuskan. Pemilihan diksi ini yang harusnya diubah, seperti contoh kata-kata pemaksaan itu dihilangkan,” sambungnya.
Ismail menambahkan, pihaknya menuntut adanya peran keluarga dalam undang-undang tersebut. Di Sumatera Barat, khususnya, peraturan daerah (perda) itu sebutnya sangat banyak.
“Tapi, apakah kita hanya hidup di Sumatera Barat? Tentu tidak, barangkali ada keluarga yang tinggal di luar Sumbar. Di dalam RUU tersebut, peran keluarga seakan-akan dihilangkan dan saya bersyukur. Solusinya adalah adanya Perda yang menangani permasalahan tersebut, namun apabila nantinya Perda tersebut bertolak belakang dengan undang-undang tersebut, itu otomatis tidak akan berlaku, karena kedudukannya jauh di bawah,” imbuhnya.
Sementara itu, Wakil Ketua DPRD Sumbar, Arkadius Datuak Intan Bano menyebut, langkah yang diambil mahasiswa bagus, pihaknya mendukung revisi RUU PKS yang digulirkan sejak akhir 2015 tersebut.
“Permasalahan kekerasan seksual pada wanita butuh kajian strategis. Jika tak ada kepastian, ini akan merugikan semua pihak, terutama kepada pihak yang lemah. Kita tidak ada masalah dengan RUU PKS, tapi pasal-pasal yang dinilai multitafsir. Kami meminta keseriusan pemerintah pusat, DPR RI untuk menindaklanjuti RUU PKS tersebut,” ujar Arkadius.
Politisi Partai Demokrat itu mengklaim, DPRD Sumbar menanggapi secara serius permasalahan RUU PKS melalui konstitusi, seperti kaukus parlemen seperti DPD RI.
“Tentu kita berpatokan juga kepada Perda Sumbar, dan di Sumbar ini berlaku falsafah Adat Basandi Syara, Syara Basandi Kitabullah, Syara Mangato, Adat Mamakai. Kami meminta kaukus parlemen serius menjalani tatanan aturan pada Perda di Sumbar. Penghapusan kekerasan seksual itu tidak ada di dalam agama. Bahkan Nabi Muhammad itu diciptakan untuk memberantas tuntas permasalahan tersebut pada masa Yahudi itu, makanya tidak terlalu sulit untuk mendukung tuntutan mahasiswa ini, semua sudah dijelaskan dan sangat mudah mengimplementasikannya,” pungkasnya. (*)