PADANG, TOP SUMBAR — Romi Syofpa Ismael adalah dokter gigi peserta Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS) dengan perolehan peringkat pertama, tapi kelulusannya dibatalkan Bupati Solok Selatan Muzni Zakaria. Romi Syofpa Ismael sudah menjadi dokter gigi honorer di Puskesmas terpencil di Kabupaten Solok Selatan, tepatnya di Nagari (desa) Talunan sejak 2015 lalu. Kondisinya yang harus menggunakan kursi roda, tidak menghambat pekerjaannya sebagai dokter gigi. Romi merasa pembatalan kelulusannya sebagai PNS oleh Bupati Solok Selatan adalah sebagai tindakan diskriminasi.
Pada 25 Maret 2019 lalu, dokter gigi Romi melayangkan surat aduan kepada Presiden Joko Widodo. Tepatnya sepekan setelah kelulusannya dibatalkan Bupati Solok Selatan Muzni Zakaria. Bupati Solok Selatan beralasan Romi tak bisa lulus karena kondisinya tak sesuai dengan persyaratan formasi umum. Romi memohon keadilan pada Presiden RI Joki Widodo, karena telah lulus seleksi dokter gigi di Kabupaten Solok Selatan.
Saat ini pihak istana kepresidenan sedang menangani surat aduan yang dikirim Romi Syofpa Ismael. Kepala Staf Presiden Moeldoko mengatakan, aduan Romi tersebut kini ditangani deputi bidang hukum dan HAM. Moeldoko juga ikut mempertanyakan sikap Bupati Solok Selatan yang menolak Romi menjadi PNS.
“Intinya enggak boleh difabel itu dibeda-bedakan. Sudah, itu saja prinsipnya. Semua, kita di depan hukum, memiliki hak dan tanggung jawab yang sama, sebagai warga negara. Untuk itu, kalau memang ada sebuah sarana-prasarana yang harus disiapkan pemerintah maupun pemerintah daerah, ya disiapkan. Kepentingan difabel harus dipikirkan dengan baik,” kata Moeldoko di kantornya, Jumat (26/07/2019).
Moeldoko mengklaim, Presiden Joko Widodo berkomitmen mengakomodasi semua kepentingan para difabel. Ia menilai Bupati Solok Selatan berpikir keliru, jika menolak Romi menjadi PNS karena disabilitas. Menurut Moeldoko, Bupati Solok Selatan tetap harus menerima Romi, jika hasil tes CPNS-nya memenuhi kriteria. Ia juga meminta kepala daerah tersebut mengakomodasi kebutuhan fasilitas pegawai difabel, agar tetap bisa bekerja dengan baik.
Komisioner Bidang Mediasi dan Perlindungan Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN), Tasdik Kinanto mengatakan penyandang disabilitas bisa mendaftarkan diri untuk menempati jabatan tertentu sebagai Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS). Namun ini tergantung kesiapan instansi mendukung kebutuhan penyandang disabilitas selama bekerja. Artinya ada kesempatan selagi formasi khusus itu terbuka.
“Pada waktu daerah itu mengajukan usulan formasi, apakah daerah mengajukan usulan (formasi disabilitas, red) itu apa tidak? Ada formasi tidak untuk mengakomodasi anak-anak yang disabilitas? Kalau tidak ada kan tidak bisa. Ibaratnya kalau mau naik mobil, seat-nya dulu, kan harus ada dulu. Formasi itu adalah persetujuan dari KemenPAN itu, ‘oh ini ada formasi untuk jabatan ini, dapat diisi bagi mereka yang disabilitas, proses masuknya melalui seleksi, kan begitu mekanismenya,” jelas Tasdik seperti dilansir dari KBR (24/07/2019).
Tasdik Kinanto menjelaskan penyandang disabilitas tidak bisa menempati seluruh jabatan CPNS. Karena ini tergantung pada fasilitas pekerjaan yang mendukung. Kata dia, disabilitas bukan berarti tidak sehat. Karena kondisi ini merupakan kekurangan seseorang yang berbeda dengan kondisi kesehatan.
“Kurang tepat dong. Disabilitas karena kekurangan, tapi kan beda dengan kesehatan yang bersangkutan. Disabilitas kan orang yang punya cacat, mungkin karena pendengarannya, mungkin karena apanya. Kan ada fasilitasnya. Misalnya orang yang cacat kakinya, tidak lengkap istilahnya, itu kan juga memerlukan suatu fasilitas tersendiri. Misalnya dia buta harus pakai braille, harus disiapkan segala macam kan,” ujar Tasdik.
Soal pembatalan putusan dokter gigi Romi, Tasdik mengatakan perlu dikonsultasikan dengan Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (KemenPAN-RB). Terutama mengenai kesiapan Kabupaten Solok Selatan, Sumatera Barat menerima penyandang disabilitas sebagai CPNS.
LBH Padang yang mendampingi drg Romi akan segera melayangkan gugatan ke PTUN Sumbar karena menganggap Pemkab Solok Selatan keliru memahami formasi umum dan khusus. Padahal negara telah menjamin hak-hak disabilitas dalam Undang-Undang No. 8 tahun 2016 dan Peraturan Daerah no 2 tahun 2015 tentang Perlindungan dan Pemenuhan Hak Penyandang Disabilitas di Sumatera Barat.
Komnas HAM turut bersuara menyikapi kasus dokter gigi Romi. Lembaga pembela HAM ini berencana menyurati Bupati Solok Selatan terkait gagalnya dokter disabilitas menjadi pegawai negeri sipil (PNS) di Kabupaten Solok Selatan.
Komisioner Komnas HAM, Beka Ulung Hapsara mengatakan, Komnas HAM menunggu klarifikasi dari Bupati Solok Selatan. Beka menegaskan, alasan kesehatan jasmani dan rohani seharusnya diterapkan dari awal seleksi.
“Ini adalah praktik diskriminasi yang nyata dari pemerintah Solok Selatan. Karena, sebenarnya disabilitas dan segala macam, tidak menjadi alasan untuk menganulir seseorang,” kata Komisioner Komnas HAM, Beka Ulung Hapsara, Rabu (24/07/2019).
Komisioner Komnas HAM, Beka Ulung Hapsara mengatakan, pemerintah seharusnya melihat kompetensi seseorang dan tidak membedakan calon pekerja. Menurutnya, diskriminasi terhadap kelompok disabilitas masih tinggi.
Ia mengatakan, penolakan hingga pemecatan terhadap kelompok disabilitas masih terjadi di lingkup pemerintahan daerah dan perusahaan-perusahaan swasta di Indonesia. Namun Beka belum bisa memastikan, langkah-langkah selanjutnya terkait gagalnya Dokter gigi Romi Syofpa Ismael menjadi PNS Kabupaten Solok Selatan.
Sementara, Bupati Solok Selatan Muzni Zakaria menyatakan kesiapannya menghadapi gugatan peserta seleksi Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS) yang dibatalkan kelulusannya karena disabilitas. Sebelumya dokter gigi Romi Sofpa Ismael mem-PTUN kan Bupati karena pembatalan tersebut.
“Saya kira saya sangat setuju sekali. Kalau memang ada keraguan atau ketidakpuasan itu langkah yang paling tepat, saya setuju itu,” ujar dia.
Menurut Bupati, semua keputusan ini sudah melalui kajian dari semua dinas terkait. Dasar keputusan pembatalan kelulusan karena dianggap tidak sehat jasmani dan rohani. Alasan lainnya, Drg Romi seharusnya ikut test formasi khusus disabilitas bukan formasi umum. Dalam Permenpan 36 tahun 2018 menyatakan peserta yang sudah lulus, tetapi kemudian hari terbukti tidak memenuhi persyaratan lainnya, maka kelulusan bisa dibatalkan, katanya. (RH/KBR)