DHARMASRAYA, TOP SUMBAR–Desa Bendosari, Kecamatan Pujon, Kabupaten Malang, merupakan desa terujung yang berbatas dengan Kabupaten Blitar dan Kabupaten Kediri. Berada di lereng Gunung Kawi pada ketinggian 1200 m dpl, memiliki topografi lahan miring hingga mendekati 30 derajat, masih memiliki ekosistem yang murni dan warganya mempertahankan kearifan lokal secara turun temurun.
Hawa sejuk langsung menusuk tulang, saat rombongan Asosiasi Walinagari Kabupaten Dharmasraya (Aswana Dharma) satu persatu keluar dari bus pariwisata yang mengantarnya ke desa itu.
Kepala Desa Bendosari Sri Wahyuni beserta tokoh masyarakat plus mahasiswa KKN menyambut hangat kedatangan para anggota Aswana Dharma.
Sejurus kemudian, rombongan Aswana Dharma disilahkan untuk menyeduh kopi, semerbak aroma kopi arabika kontan merasuk dalam dada, aroma khas kopi arabika mengingatkan sajian kopi di hotel bintang lima.
“Kopi ini ditanam, dipetik, dan diolah di Desa Bendosari,” kata Khairun, SE, mantan Kepala Desa Bendosari yang baru saja terpilih sebagai anggota DPRD Kabupaten Malang.
Setelah minum kopi dan berbasa-basi sejenak, acara sharing informasi segera dimulai.
Asisten Pemerintahan M. Yusuf, SH., dan Kabag Tapem dan OTDA Asril, AP., M.Si mewakili delegasi Aswana Dharma, sedangkan dari Desa Bendosari langsung diwakili kepala desa dan seorang tokoh masyarakat setempat bernama Sumardiko, sosok yang satu ini oleh masyarakat setempat dijadikan panutan.
Sumardiko, pria yang mulai sepuh itu oleh kades Bendosari didapuk menjadi narasumber.
Sumardiko menceritakan, bahwa Desa Bendosari merupakan desa dengan potensi pertanian yang besar, warganya ada yang bertanam padi dan palawija serta sayuran, ada juga yang beternak sapi perah dan ada juga yang bekerja sebagai petani apel.
“Semua denyut kehidupan yang ada di Bendosari, akan dijadikan objek wisata yang mereka sebut wisata desa,” kata Sumardiko
Belum terlalu berkembang sih, namun sejumlah walinagari menyatakan akan menjadikan Desa Bendosari sebagai inovasi dalam mengembangkan pariwisata di nagarinya. Paling tidak ada empat nagari yang menyatakan akan mengadopsi pola pengembangan wisata dari Desa Bendosari. Mereka adalah Walinagari Koto Laweh Rahman, Walinagari Koto Ranah Marzuki Zain, Walinagari Sungai Dareh Hendrianto dan Walinagari Sungai Duo Ali Amran.
Pola pengembangan wisata desa yang dilakukan di Desa Bendosari biayanya jauh lebih murah. Mereka tidak perlu mahal mahal membangun infrastruktur dan membangun objek wisatanya, sebab yang menjadi objek wisata desa adalah kearifan lokal di sana.
“Wisata desa yang kita kembangkan adalah wisata memetik apel, wisata mengolah kotoran sapi jadi energi, wisata air terjun, wisata perkemahan dan agrowisata lainnya,” kata Sumardiko.
Itulah sesungguhnya yang menjadi daya tarik bagi empat walinagari di Dharmasraya, walinagari Koto Laweh Rahman akan menjadikan wayang kulit dan embung untuk dijadikan objek wisata, walinagari Sungai Dareh Hendrianto akan menjadikan embung Ampang Kamang sebagai objek wisata, walinagari Marzuki Zain akan menjadikan embung Koto Ranah sebagai objek wisata dan walinagari Sungai Duo Ali Amran akan menjadikan embung Gajah Meno sebagai objek wisata, selain pusat kuliner di Blok B Koto Agung. (Yanti/Hms)