TOP SUMBAR – Dikenal sebagai pribadi yang rajin menyambangi masyarakat semenjak menjabat sebagai Kepala Kepolisian Resor (Kapolres) Solok Selatan (Solsel) per April 2018 silam, AKBP Imam Yulisdianto sudah tak terhitung bertemu dan bersilaturahmi dengan seluruh lapisan masyarakat, baik unsur forum komunikasi pimpinan daerah (forkopimda), tokoh agama (toga), tokoh adat (todat), TNI, awak media, hingga yang terbaru pria berdarah Jawa tersebut tak sungkan bertemu dengan Suku Anak Dalam (SAD) yang melintasi wilayah hukum (wilkum) yang ia pimpin.
“Sebenarnya pertemuan tersebut tak sengaja kami lakukan saat kami melakukan anjangsana ke Sangir Jujuan. Kami mendapatkan informasi bahwa sekitar 40 orang SAD ini hanya tinggal di pondok yang beralaskan tanah selama satu minggu belakangan ini,” ucap Imam, Jumat (12/07/2019).
Lantas bagaimana menurut perspektif pria kelahiran Tulungagung, 40 tahun silam tersebut mengenai keberadaan SAD yang terkenal dengan hidup suka berpindah-pindah tempat dan cenderung tertutup tersebut?
“Mereka hidup itu tidak seperti pada masyarakat umumnya, cenderung lebih proteksi kepada orang lain. Namun satu hal yang saya kagum sama mereka, dimanapun mereka berada, selalu hidup menyatu dengan alam, berkelompok, berpindah-pindah dari satu tempat lain tanpa merusak lingkungan. Malah yang ada, mereka membantu menjaga melestarikan alam dan membantu petani untuk memburu babi,” tuturnya
Menurut pria jebolan Akademi Kepolisian (Akpol) tahun 2000 tersebut, Kebhinekaan Indonesia tercermin dari keberagaman suku dan budaya yang tersebar di seluruh nusantara. Tidak hanya penduduk dengan gaya hidup modern. Saat ini, sebutnya beberapa daerah di indonesia masih terdapat suku primitif.
“Salah satunya adalah Suku Anak Dalam di pulau Sumatera. Kondisi pulau Sumatera yang masih memiliki hutan yang luas, memungkinkan masih adanya penduduk primitif yang tinggal di sana,” paparnya.
Suku Anak Dalam atau mereka menyebut diri “Orang Rimba” berarti orang yang tinggal di dalam hutan merupakan suku yang terbelakang di Jambi. Sebagian besar dari mereka tinggal di kawasan taman 12 dan taman nasional Bukit 30 di Kabupaten Bungo, Tebo, Sorolangun dan Batanghari.
Dinukil dari laman romadecade, suku ini hidup secara sederhana dengan hidup sederhana dan menghidupi diri dengan apa yang tersedia di hutan. Berburu dan mencari buah-buahan atau tumbuh-tumbuhan adalah cara mereka memenuhi kebutuhan hidup.
Salah satu kebiasaan SAD adalah hidup nomaden atau berpindah-pindah. Jika salah satu anggota keluarga mereka ada yang meninggal, mereka akan meninggalkan tempat tinggal mereka dan mencari tempat tinggal yang baru. Hal tersebut bertujuan untuk menghilangkan kesedihan mereka. Kegiatan semacam ini mereka sebut Melangun. Mereka akan tetap Melangun, hingga kesedihan akibat ditinggal orang yang dicintai hilang.
Satu hal lainnya yang menarik dari SAD, adalah mengenai larangan berduaan bagi laki-laki dan perempuan.
Mereka melarang keras laki-laki dan perempuan berduaan. Bagi yang ketahuan akan dikenakan hukuman kawin paksa. Namun sebelum dikawinkan, mereka terlebih dahulu akan dihukum cambuk rotan karena dianggap memalukan orang tua.
“Kebudayaan mereka merupakan implementasi dari Kebhinekaan Indonesia itu sendiri. Suku dan Kebudayaan kita boleh berbeda, tetapi kita adalah Indonesia dan yang tidak kalah penting adalah Suku Anak Dalam berhak mendapat perlakuan yang sama dari pemerintah, dari kita semua, termasuk dari Polri untuk memberikan rasa aman dan nyaman bagi mereka,” pungkas AKBP Imam Yulisdianto. (mad)