Oleh Desri Ayunda
Bulan suci Ramadhan sebagai bulan penuh ampunan, bulan penuh keberkahan, begitu banyak kesempatan untuk beramal yang terbuka lebar. Salah satunya, berdiam diri di dalam masjid atau lazim disebut, “beri’tikaf”. Sekalipun hanya berdiam diri, “Nilainya adalah sebuah ibadah”.
Menurut para mubaligh, Nabi Muhammad SAW beri’tikaf di masjid sepuluh hari menjelang berakhir bulan suci Ramadhan. Para ulama terdahulu juga melakukan ini, bahkan dengan melakukan dzikir sepanjang malam, setelah melakukan shalat malam, lalu berdiam dan menikmati kehidupan di masjid, mushalla, maupun surau tempat mereka tinggal.
Menurut Hadits yang diriwayatkan dari Aisyah, “Rasulullah SAW melakukan I’tikaf sesudah tanggal dua puluh Ramadhan hingga beliau meninggal dunia.” (HR Bukhari dan Muslim).
Apa makna yang dapat diambil dari kegiatan beri’tikaf ini? Salah satunya adalah mencari makna-makna kehidupan melalui sebuah sikap berdiam, berdoa, berpikir, tentang perjalanan hidup yang sudah dilewati. Berdiam tentu saja tidak berhenti berpikir. Justru sebaliknya terjadi komunikasi ke dalam diri. Antara hati dan pikiran berdialog tentang kehidupan yang sudah dijalani. Ini sangat personal, sangat pribadi.
Pada saat itulah kita bisa merasakan denyut nadi sendiri, mempertanyakan diri, menyidangkan sendiri apa yang sudah dilakukan selama ini. “Sering orang menemukan pintu taubat pada titik ini”.
Sungguh merupakan tantangan bagi orang-orang beriman, dalam mengasah jiwa agar meraih kemenangan nan fitri. “I’tikaf, dengan diisi kegiatan ibadah lainnya, ibadah puasa menjadi lebih terasa lengkap dan memperteguh iman dan ketaqwaan”.
Apakah kita harus beri’tikaf, sehingga melupakan dunia? Ternyata tidak juga. “Berdiam di masjid merupakan memperbanyak waktu beribadah”. Shalat berjamaah, mengaji, berdoa, semestinya tidak perlu meninggalkan peran dan tanggung jawab di kehidupan nyata. Justru sebaliknya, apapun ibadah tidak menjadi alasan melemahnya semangat untuk menjalankan tugas dan tanggung jawab seperti biasa. Ibadah tak boleh menjadi alasan sehingga peran, tugas dan tanggung jawab ditinggalkan.
“Beri’tikaf di masjid merupakan kegiatan sederhana namun penuh makna”. Di sela-sela kesibukan, beri’tikaf harus digalakkan termasuk selain bulan suci. Dalam beri’tikaf yang diperlukan hanyalah meluangkan waktu lebih dari biasanya, lalu shalat, mengaji dan berdoa di dalam masjid.
Beri’tikaf kegiatan yang bisa dilakukan sebelum dan sesudah ibadah shalat berjamaah, shalat malam, mengaji, berzikir, lalu berdialog dengan diri sendiri. Setelahnya, kembalilah menata hati, pikiran, serta menjernihkannya sehingga ringanlah beban yang dihadapi dalam kehidupan. Muncullah semangat untuk melakukan sesuatu dengan landasan ibadah, menjauhi sifat riya’, mendekap sifat tawadu’, serta menyerahkan segala urusan kehidupan ini kepada Allah SWT. Inilah salah satu hikmah beri’tikaf sesuai dengan pengalaman yang dijalani. Ada totalitas penyerah diri (tawaddu’) kepada Illahi. Maka runtuhlah ego dan kesombongan diri, kehebatan dan segala hal yang merusak iman dan taqwa.
Semoga kita mendapatkan waktu yang rutin untuk beri’tikaf di masjid, menggali makna-makna kehidupan dari dalam diri, di relung hati, dimana iman dan taqwa bersemayam.
Amin. *******