PADANG, TOP SUMBAR – Serapan anggaran semester I di Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD) Sumatera Barat 2017 cukup mengecewakan, Ketua Komisi IV Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Provinsi Sumatera Barat, Nurnas membeberkan, rata-rata serapan belanja langsung (infrastruktur) hanya 31,9 persen.
Padahal pada periode yang sama tahun lalu serapan APBD mencapai rata-rata 45 persen.
“Saat ini sangat rendah, rata-rata 31,9 persen yang terealisasi,” kata Nurnas di Gedung DPRD Sumatera Barat, Senin (21/8). Anggota DPRD Provinsi Sumatera Barat dari Fraksi Demokrat ini sangat menyesali kondisi yang ada. Nurnas mendesak Gubernur mengevaluasi kinerja Organisasi Perangkat Daerah (OPD) yang kondisi serapan anggarannya rendah.
Secara keseluruhan lanjut Nurnas, rata -rata OPD persentase serapan anggarannya sangat buruk, bahkan dari 41 OPD dan sembilan biro di lingkungan pemerintahan Provinsi Sumatera Barat hanya tiga OPD yang serapan anggarannya mendekati 50 persen.
“Sisanya sangat jauh dari harapan, ini harus dievaluasi. Untuk data lengkap tiap OPD, saya akan buka di paripurna besok (KUA-PPAS APBD 2018 dan APBD Perubahan 2017) ,” tegas Nurnas.
Nurnas meminta evaluasi dan inovasi segera dilakukan gubernur. Jika dibiarkan kondisi yang ada dikhawatirkan memperburuk kondisi ekonomi SumateraBarat. Terlebih saat ini perekonomian Sumatera Barat masih bergantung pada belanja pemerintah (APBD dan APBN).
Menurut dia perlu ada langkah strategis dari tiap-tiap OPD baik dari sektor realisasi belanja.
Rendahnya serapan dana belanja daerah pada APBD Sumbar 2017 disebut disebabkan sejumlah faktor. Paling utama disebabkan karena rendahnya kinerja pada OPD dan faktor lelang.
Masalah lelang yang sering terlambat, pemerintah daerah jelas dia harusnya merujuk pada Perpres Nomor 54 Tahun 2010 . Dalam pasal 25 diterangkan, setelah APBD ketok Palu, pemerintah daerah sudah bisa lelang sebelum dievaluasi, namun penetapan pemenang belum boleh. Setalah DPA ditetapkan baru bisa ditunjuk pemenang.
“Selama ini itu yang belum dilakukan, banyak OPD masih menahan lelang. Ini yang membuat waktu tidak efisien,” tukasnya.
Dari pengawasan Komisi IV di lapangan beber dia, saat ini banyak proyek berjalan lambat. Seperti di Payakumbuh berkaitan dengan normalisasi sungai, kontrak sudah diterima namun belum dikerjakan.
Kelalaian banyak di OPD, kemudian ada juga soal lahan. “Gubernur memantau kondisi ini, jika serapan rendah Sumatera Barat terancam dapat sanksi penurunan dana perimbangan atau pemangkasan DAU,” imbuh Nurnas mengingatkan.
Belajar Dari Penundaan Dana Alokasi Umum (DAU), Serapan anggaran tak boleh rendah. Sebelumnya, Ketua Fraksi PDIP, PKB dan PBB DPRD Provinsi Sumatera Barat Albert Hendra Lukman meminta penundaan DAU tahun 2016 dijadikan pelajaran oleh pemerintah daerah untuk lebih meningkatkan serapan anggaran dan memperkecil silpa di tahun sekarang.
Menurut Albert, selain karena kondisi keuangan negara yang tengah defisit, hal lain yang jadi sebab DAU tahun lalu ditunda adalah karena tingginya silpa Provinsi Sumatera Barat setiap tahunnya.
“Ada sekitar lima ratus kabupaten/kota dan provinsi yang ada di Indonesia. Tapi yang mengalami penundaan DAU di 2016 hanya sekitar seratus daerah, didalamnya masuk SumateraBarat. Salah satu penyebab DAU kita ditunda adalah karena silpa yang selalu tinggi setiap tahunnya. Sementara serapan anggaran rendah,” ujar Albert belum lama ini.
Dari data yang ia dapat, jelas Albert, rata-rata Silpa Provinsi Sumatera Barat setiap tahunnya adalah sekitar Rp 200 miliar.
Dalam hal ini ia juga mengingatkan, penundaan DAU tahun 2016 hendaknya tidak dijadikan pemerintah daerah untuk menyalahkan pemerintah pusat. Namun mesti dijadikan sebagai bahan introspeksi bagi kepala daerah dan jajaran untuk menunjukkan kinerja yang lebih baik di depan.
Ia menghimbau pada setiap SKPD di lingkungan pemerintah Provinsi Sumatera Barat untuk bekerja sungguh-sungguh dan profesional. (Syafri)